Kritik Pedas Untuk KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, Prihal "SISTEM BAKU KHILAFAH" Prof. Mahfudz MD
Beberapa hari ini diskusi hangat prial "Reuni Akbar 212" yang diadakan umat Islam di ILC [Indonesia Lwyers Club] sangat hangat. Terutama saat salah satu ustadz idola HTI, Ustadz Felix Siauw dihadirkan, dan dihadapkan dengan Abu Janda dan Denny Siregar juga turut hadir.
Diskusi tersebut memang menarik untuk dikonsumsi oleh publik, pasalnya "Issu Khilafah", yang dingungkan oleh organisasi yang dibubarkan beberapa waktu lalu, masih juga ditampilkan diacara Reuni 212, meski hanya berupa atribut.
Abu Janda, sekaligus Pemilik nama asli Permady Arya, , yang menanggapi aksi reuni tersebut, seakan-akan secara defacto "Kalah Telak" dengan Ustadz Felix Siauw, terutama saat memaparkan masalah bendera Hizbut Tahrir.
Dalam tulisan ini, saya sendiri tidak akan mengulas panjang lebar, berkenaan lambang, simbol, bendera HTI, sebab mestinya, kita harus paham apa itu simbol, apa itu bendera, apa itu bendera Islam, bagaimana dalilnya, dan lain sebagainya.
Sebagai tambahan, jika ingin tahu bagaimana hadith dan penjelasannya sola Liawa' atau Rayah, silahkan baca tulisan KH. Ma'ruf Khozin, dalam disitusnya : "Bendera Nabi dan Bendera Negara | Hantaman Keras Untuk HTI"
Yang menarik untuk dibahas, justru pada tanggapan-tanggapan diskusi tersebut, taruhlah Prof. Mahfudz MD, yang ikut serta dihadirkan, meski melalui teleconference.
Disisi lain, Mahfudz MD, juga semat dua kali membubuhkan ciutannya di twetter, dia menegaskan sebegai berikut :
"Saya siap. Datangkan ke @ILCtvone tokoh2 yg ingin memperjuangkan sistem khilafah. Kalau mereka bisa menunjukkan sistem baku khilafah dari Qur’an dan Hadits maka saya akan langsung mempejuangkan khilafah bersama mereka. Ayo."
"Sy sdh berkali2 ngomong di TV-TV, nulis di koran2 (Kompas, sindo, dll), datang ke kampus2 dan seminar2. Sy bilang, ayo, siapa yg bs tunjukkan sistem khilafah yg baku saya akan jd pengikutnya. Tapi tdk pernah ada, tuh."
Kedua cuitan Mahfudz MD tersebut ditanggapi oleh seorang Kiai asal Jogja, yakni KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, dengan judul tulisan yang cukup bikin kita terperana, rerpesona, coba cek CACAT EPISTEMOLOGIS DALAM ISTILAH “SISTEM BAKU KHILAFAH” PROF. MAHFUD MD. Dengan judul postingan "Uraian Menohok Ust. Sidiq Al Jawi Tanggapi Sistem Baku Khilafah Prof. Mahfud MD"
Oke, kita langsung saja bahas tanggapan KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI yang diterbitkan tribunmuslim.com tersebut.
Dalam tulisan yang ditulis pada 9 Desember 2017, M. Shiddiq Al Jawi, mula-mula ingin menggiring pemahaman pembaca dan fokus pada kedua tweet Mahfudz MD.
Selanjutnya, dia juga membuat kesimpulan sepihak [tanpa klarifikasi, padahal Mahfudz MD masih hidup lho], dengan menegaskan bahwa konstruksi argumen Mahfudz MD menggunakan "sistem baku khilafah", nampak ada cacat dan ada kejanggalan.
Dia beralasan bahwa "seharusnya kalau bicara hukum Islam menggunakan pendekatan penalaran ushul fiqih". Padahal, penalaran atau cara berfikir sangat memerlukan ilmu mantiq. sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Ahdhari, tentang fungsi central ilmu mantiq.
فيعصم الأفكار عن غي الخطا # وعن دقيق الفهم يكشف الغطا
Maka ilmu mantiq tersebut dapat menjaga "seseorang" dari kesalahan berfikir, dan dapat membuka penutup "pemahaman yang mendalam"Oleh sebab itu, M. Shiddiq Al Jawi sepertinya sadar diri, pada paragraf berikutnya, dia menegaskan bahwa
"Sebenarnya, penggunaan logika (termasuk silogisme) tidaklah selalu salah. Penggunaan logika termasuk silogisme boleh-boleh saja, tetapi ada syaratnya"
Intinya, awalnya dia menyalahkan Mahfudz MD, seharusnya menggunakan nalaf berfikir Ushul Fiqih, dan selanjutnya dia justru mencabut ucapan tersebut.
Tak heran, sebab dia sendiri ingin mengutip salah pendapat tokoh utama Hizbut Tahrir, yakni Taqiyuddin al-Nabhani, dalam kitab al-Tafkiir.
Selanjutnya, dia [M. Shiddiq Al Jawi], mencoba meyakinkan pembaca bahwa kecacatan argumen dalam aspek epistemologis Mahfud MD menggunakan logika silogisme/ Qiyas.
Tak heran, sebab dia sendiri ingin mengutip salah pendapat tokoh utama Hizbut Tahrir, yakni Taqiyuddin al-Nabhani, dalam kitab al-Tafkiir.
Selanjutnya, dia [M. Shiddiq Al Jawi], mencoba meyakinkan pembaca bahwa kecacatan argumen dalam aspek epistemologis Mahfud MD menggunakan logika silogisme/ Qiyas.
Lucunya, lagi-lagi M. Shiddiq Al Jawi memberikan kesimpulan / Proposisi sepihak [Tak perlu konfirmasi ya?] tentang silogisme Mahfudz MD. Dengan menyatakan :
"Bisa kita uji premis mayor itu dengan bertanya, apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah wudhu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah sholat yang tidak baku lalu hukumnya tidak wajib? Apakah haji yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Tidak demikian, bukan? Nah, pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk khilafah, apakah khilafah yang tidak baku berarti tidak wajib?"
Kritik Untuk KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI
1. Tidak Konsisten
Awalnya, dia menyalahkan Mahfudz MD, sebab nalar berfikir yang digunakannya, dia mengklaim mantan ketua MK tersebut menggunakan silogisme.
EH, eh, diparagraf selanjutnya, justtru dia menegaskan, menggunakan pendekatan silogisme sah-saha saja, sebab jelas, dia ingin menukil pendapat Taqiyuddin al-Nabhani.
2. Kesalahan Membuat Silogisme
Berbicara tentang mantiq, terutama tentang Qiyas [Bahasa kerennnya Silogisme], kita harus paham ilmu mantiq secara menyeluruh, dari awal, hingga akhir.
Membuat kesimpulan, memang membutuhkan premis-premis [bahasa kunonya, Muqaddimah-muqaddimah], dan harus diuji kebenarannya. itu betul.
Silogisme sendiri tidak sesederhana itu, dia memiliki dua cabang, Qiyas Iqtirani dan Ististna' Syarthi, Qiyas Iqtirani memiliki empat Syakl, dan beberapa Dhurub.
Masalahnya adalah, kesimpulan yang disampaikan KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, berkenaan cuitan Mahfudz MD tidak bisa diyakini kebenarannya. Coba perhatikan:
Premis mayor: "segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib".
Premis minor: "khilafah tidak baku"
Kesimpulan: "Sistem khilafah tidaklah wajib"
Untuk menegaskan silogisme itu terlihat sepakat disandarkan kepada Mahfudz MD, selanjutnya dia mengajukan nalar uji yang dikemukan :
"apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib?"
Padahal, berikut ini cuitan pak Mahfudz MD :
"Kalau mereka bisa menunjukkan sistem baku khilafah dari Qur’an dan Hadits maka saya akan langsung mempejuangkan khilafah bersama mereka. Ayo"
Lho, kapan bapak Mahfudz MD mengatakan bahwa "tidak wajib", saat sesuatu tidak baku? Mahfudz MD, hanya menjelaskan "Khilafah tidak Baku", tidak memiliki kejelasan "Nash Qath'i" layaknya kewajiban Shalat, Wudhu, Shalat Maupun Haji. Mahfudz MD, tidak lantas mengatakan Yang tidak Baku, Berarti tidak wajib. Catat!
Kita yakin, Mahfudz MD tidak sebodoh yang dikira, dia mesti paham bahwa hal yang baku-pun, tidak lantas berimplikasi "hukum wajib", bisa mubah, bisa sunnah de el el.
Kembali kepenyusunan Silogisme KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, yang disarikan dari cuitan pak Mahfudz MD.
Premis minor: "khilafah [adalah sesuatu yang] tidak baku"
Premis mayor: "segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib".
Kesimpulan: "Sistem khilafah tidaklah wajib"
Qiyas diatas, masuk dalam kategori Qiyas Iqtirani, masuk dalam Syakl ke-satu, Sebab Had Ausath "sesuatu yang tidak baku", berada diposisi Mahmul' dalam Premis Minor, dan Menjadi Maudhu' dalam Premis Mayor.
Namun Fatal, susunan Qiyas semacam ini ternyata "SALAH FATAL", Dalam Sullam al-Muawwaraq, syarat menyusun silogisme dengan bentuk pertama sebagai berikut :
Syarat Bentuk Qiyas yang pertama adalah " Muqaddimah Sughro [Premis Monor] harus berupa Mujabah, sementara Muqaddimah Kubra, harus Salibah"
Baca Juga : Ini Negara-Negara Islam Yang Menolak HTI, Indonesia Telat !
Dalam susunan silogisme " KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI", nyata dengan jelas, Premis Minor justru Salibah.
Padahal, kita tahu dalam menyusun premis-premis, harus mencermati syarat-syaratnya, jangan asal-asalan, akibatnya, asal bikin premis, natijahnya bisa dipastikan asal-asalan. Coba perhatikan :
Artinya.... artien dewe!
Kesimpulannya, apa yang disampaikan oleh "KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI" memiliki kelemahan vital, terutama saat menyusun silogisme, yang disarikan dari pernyataan prof. Mahfudz MD.
Penggiringan opini pembaca dengan gaya demikian, dalam Istilah Ilmu Manthiq sering disebut dengan Hujjah 'Aqliyyah dengan kategori "Syi'r", yakni sastra, Lho Kok Sastra? Aneh? Ya, sebab dia seakan-akan membenarkan aapa yang salah, dan menyalahkan yang benar. Bagaikan sebuah sastra, yang memaniskan minuman pait, dan memaitkan minuman yang manis.
Cukup demikian, tanggapan saya sebagai tukang nyapu di pesantren, saya sangat senang jika tulisan jelek saya ini bisa ditanggapi oleh BAPAK KIAI yang bersangkutan, sebagaimana tulisan "Abd. Wahid (Santri PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo)", yang juga memberikan tanggapan menusuk kedinding tulang rusuk. silahkan baca disini
Wallahu A'lam.
Kang Oim
Tukang Sapu
Santri Tukang Nyapu di Darussholah Jember, Dalwa Bangil, Sidogiri Pasuruan, Injelan Panggung Sampang, Dan di PP Raudlatul Ulum 1.
"segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib"Bahkan, agar proposisi yang disandarkan ke Mahfudz MD itu terlihat meyakinkan, dan seakan-akan makin menegaskan kecacatan Mahfudz MD, dia melanjutkan :
"Bisa kita uji premis mayor itu dengan bertanya, apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah wudhu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah sholat yang tidak baku lalu hukumnya tidak wajib? Apakah haji yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Tidak demikian, bukan? Nah, pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk khilafah, apakah khilafah yang tidak baku berarti tidak wajib?"
Kritik Untuk KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI
1. Tidak Konsisten
Awalnya, dia menyalahkan Mahfudz MD, sebab nalar berfikir yang digunakannya, dia mengklaim mantan ketua MK tersebut menggunakan silogisme.
EH, eh, diparagraf selanjutnya, justtru dia menegaskan, menggunakan pendekatan silogisme sah-saha saja, sebab jelas, dia ingin menukil pendapat Taqiyuddin al-Nabhani.
2. Kesalahan Membuat Silogisme
Berbicara tentang mantiq, terutama tentang Qiyas [Bahasa kerennnya Silogisme], kita harus paham ilmu mantiq secara menyeluruh, dari awal, hingga akhir.
Membuat kesimpulan, memang membutuhkan premis-premis [bahasa kunonya, Muqaddimah-muqaddimah], dan harus diuji kebenarannya. itu betul.
Silogisme sendiri tidak sesederhana itu, dia memiliki dua cabang, Qiyas Iqtirani dan Ististna' Syarthi, Qiyas Iqtirani memiliki empat Syakl, dan beberapa Dhurub.
Masalahnya adalah, kesimpulan yang disampaikan KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, berkenaan cuitan Mahfudz MD tidak bisa diyakini kebenarannya. Coba perhatikan:
Premis mayor: "segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib".
Premis minor: "khilafah tidak baku"
Kesimpulan: "Sistem khilafah tidaklah wajib"
Untuk menegaskan silogisme itu terlihat sepakat disandarkan kepada Mahfudz MD, selanjutnya dia mengajukan nalar uji yang dikemukan :
"apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib?"
Padahal, berikut ini cuitan pak Mahfudz MD :
"Kalau mereka bisa menunjukkan sistem baku khilafah dari Qur’an dan Hadits maka saya akan langsung mempejuangkan khilafah bersama mereka. Ayo"
Lho, kapan bapak Mahfudz MD mengatakan bahwa "tidak wajib", saat sesuatu tidak baku? Mahfudz MD, hanya menjelaskan "Khilafah tidak Baku", tidak memiliki kejelasan "Nash Qath'i" layaknya kewajiban Shalat, Wudhu, Shalat Maupun Haji. Mahfudz MD, tidak lantas mengatakan Yang tidak Baku, Berarti tidak wajib. Catat!
Kita yakin, Mahfudz MD tidak sebodoh yang dikira, dia mesti paham bahwa hal yang baku-pun, tidak lantas berimplikasi "hukum wajib", bisa mubah, bisa sunnah de el el.
Kembali kepenyusunan Silogisme KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, yang disarikan dari cuitan pak Mahfudz MD.
Premis minor: "khilafah [adalah sesuatu yang] tidak baku"
Premis mayor: "segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib".
Kesimpulan: "Sistem khilafah tidaklah wajib"
Qiyas diatas, masuk dalam kategori Qiyas Iqtirani, masuk dalam Syakl ke-satu, Sebab Had Ausath "sesuatu yang tidak baku", berada diposisi Mahmul' dalam Premis Minor, dan Menjadi Maudhu' dalam Premis Mayor.
حمل بصغرى وضعه بكبرى # يدعى بشكل أول ويدرى
Had Ausath menjadi mahmul dalam Muqaddimah Sughra [Premis Minor], dan menjadi Maudhu' dalam Muqaddimah Kubro [Premis Mayor]Namun Fatal, susunan Qiyas semacam ini ternyata "SALAH FATAL", Dalam Sullam al-Muawwaraq, syarat menyusun silogisme dengan bentuk pertama sebagai berikut :
وشرطه الإيجاب في صغراه # وأن ترى كلية كبراه
Syarat Bentuk Qiyas yang pertama adalah " Muqaddimah Sughro [Premis Monor] harus berupa Mujabah, sementara Muqaddimah Kubra, harus Salibah"
Baca Juga : Ini Negara-Negara Islam Yang Menolak HTI, Indonesia Telat !
Dalam susunan silogisme " KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI", nyata dengan jelas, Premis Minor justru Salibah.
Padahal, kita tahu dalam menyusun premis-premis, harus mencermati syarat-syaratnya, jangan asal-asalan, akibatnya, asal bikin premis, natijahnya bisa dipastikan asal-asalan. Coba perhatikan :
ورتب المقدمات وانظرا # صحيحها من فاسد مختبرا
Kesimpulannya, apa yang disampaikan oleh "KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI" memiliki kelemahan vital, terutama saat menyusun silogisme, yang disarikan dari pernyataan prof. Mahfudz MD.
Penggiringan opini pembaca dengan gaya demikian, dalam Istilah Ilmu Manthiq sering disebut dengan Hujjah 'Aqliyyah dengan kategori "Syi'r", yakni sastra, Lho Kok Sastra? Aneh? Ya, sebab dia seakan-akan membenarkan aapa yang salah, dan menyalahkan yang benar. Bagaikan sebuah sastra, yang memaniskan minuman pait, dan memaitkan minuman yang manis.
Cukup demikian, tanggapan saya sebagai tukang nyapu di pesantren, saya sangat senang jika tulisan jelek saya ini bisa ditanggapi oleh BAPAK KIAI yang bersangkutan, sebagaimana tulisan "Abd. Wahid (Santri PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo)", yang juga memberikan tanggapan menusuk kedinding tulang rusuk. silahkan baca disini
Kang Oim
Tukang Sapu
Santri Tukang Nyapu di Darussholah Jember, Dalwa Bangil, Sidogiri Pasuruan, Injelan Panggung Sampang, Dan di PP Raudlatul Ulum 1.
Keren gus
BalasHapusSebarkan ra, male dulat
HapusMaaf, berarti menurut anda prof mahfud md itu mewajibkan atau tidak khilafah? terima kasih...
BalasHapusJawabannya "TIDAK", banyak ulama yang menegaskan hal demikian, sebab tak ada nash!
Hapus